Thursday, June 23, 2016


PERTANIAN ORGANIK
UNTUK MASA DEPAN YANG BERKELANJUTAN


Nadiatul Ummi
Universitas Sriwijaya



         Abstrak: Laha pertanian di Indonesia semakin sempit karena adanya industrilisasi. Dan pengguanaan bahan-bahan kimia yang mengakibatkan perubahan pada lingkungan. Untuk mengurangi dari hal tersebut hal yang perlu di lakukan adalah merubah sistem pola pertanian yaitu dengan pertanian organik. Pertanian organik adalah sistem budidaya pertanian yang mengadalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian yang aman dikonsumsi dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.

Kata kunci: Pertanian organik, masa depan, berkelanjutan

Pendahuluan
            Indonesia  dikenal sebagai Negara agraris karena mata pencaharian utama masyarakat Indonesia adalah bercocok tanam. Dan terdapat beraneka ragam pula tanaman pertanian di Indonesia. Namun sangat disayangkan, dewasa ini lahan pertanian Indonesia semakin sempit karena industrialisasi. Tanah hijau berubah menjadi tandus dan gersang, bencana alam pun tak dapat dihindari. Selain itu, hal yang juga memprihatinkan adalah pola pikir masyarakat yang masih sering memandang sebelah mata tentang sektor pertanian. Itulah mengapa output pertanian Indonesia tidak sebanding dengan sumber daya alam yang tersedia (Makudo, 2012:1). Oleh karena itu, diperlukan suatu langkah untuk memajukan pertanian Indonesia yang ramah lingkungan sehingga tidak membahayakan makhluk hidup di dalamnya. Salah satu solusi yang tak asing lagi adalah pertanian organik.
           Pertanian organik adalah sistem budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Menurut Sulistiani (2012:1) Pertanian organik merupakan kegiatan bercocok tanam yang ramah atau akrab dengan lingkungan dengan cara berusaha meminimalkan dampak negatif bagi alam sekitar dengan ciri utama pertanian organik yaitu menggunakan varietas lokal, pupuk, dan pestisida organik dengan tujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Pertanian organik adalah cara menanam tanaman secara alami dengan penekanan terhadap perlindungan lingkungan dan pelestarian tanah serta sumber air kita yang berkelanjutan. Pertanian organik tidak menggunakan pupuk buatan yang berasal dari bahan bakar minyak, pestisida, atau makanan dari hasil modifikasi genetika.
            Rumusan masalah yaitu 1) Apakah prinsip-prinsip pertanian organik?, 2) bagaimanakah kelebihan setelah menggunakan sistem pertanaian organik?, bagaimanakah kaidah-kaidah melakukan pertanian organik?
            Tujuan penulisan adalah mengetahui prinsip dari pertanian organik, mengetahui kelebihan dari pertanian organik, dan mengetahui kaidah dalam melakukan pertanian organik.


Pembahasan
1.Prinsip- prinsip pertanian organik
            Prinsip-prinsip pertanian organik merupakan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan pertanian organik. Prinsip – prinsip ini berisi tentang sumbangan yang dapat diberikan pertanian organik bagi dunia, dan merupakan sebuah visi untuk meningkatkan keseluruhan aspek pertanian secara global. Pertanian merupakan salah satu kegiatan paling mendasar bagi manusia, karena semua orang perlu makan setiap hari. Nilai – nilai sejarah, budaya dan komunitas menyatu dalam pertanian. Prinsip-prinsip ini diterapkan dalam pertanian dengan pengertian luas, termasuk bagaimana manusia memelihara tanah, air, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan, mempersiapkan dan menyalurkan pangan dan produk lainnya. Prinsip – prinsip tersebut menyangkut bagaimana manusia berhubungan dengan lingkungan hidup, berhubungan satu sama lain dan menentukan warisan untuk generasi mendatang (Prawira :1).
Pertanian organik didasarkan pada:
1.      Prinsip Kesehatan
Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan manusia.
Kesehatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem kehidupan. Hal ini tidak saja sekedar bebas dari penyakit, tetapi juga dengan memelihara kesejahteraan fisik, mental, sosial dan ekologi. Ketahanan tubuh, keceriaan dan pembaharuan diri merupakan hal mendasar untuk menuju sehat.
Peran pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada di alam tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian organik dimaksudkan untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan..
2.      Prinsip Ekologi
Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan.
Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik dalam sistem ekologi kehidupan. Prinsip ini menyatakan bahwa produksi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Makanan dan kesejahteraan diperoleh melalui ekologi suatu lingkungan produksi yang khusus; sebagai contoh, tanaman membutuhkan tanah yang subur, hewan membutuhkan ekosistem peternakan, ikan dan organisme laut membutuhkan lingkungan perairan. Budidaya pertanian, peternakan dan pemanenan produk liar organik haruslah sesuai dengan siklus dan keseimbangan ekologi di alam. Siklus – siklus ini bersifat universal tetapi pengoperasiannya bersifat spesifik-lokal. Pengelolaan organik harus disesuaikan dengan kondisi, ekologi, budaya dan skala lokal. Bahan – bahan asupan sebaiknya dikurangi dengan cara dipakai kembali, didaur ulang dan dengan pengelolaan bahan – bahan dan energi secara efisien guna memelihara, meningkatkan kualitas dan melindungi sumber daya alam.
Pertanian organik dapat mencapai keseimbangan ekologis melalui pola sistem pertanian, pembangunan habitat, pemeliharaan keragaman genetika dan pertanian. Mereka yang menghasilkan, memproses, memasarkan atau mengkonsumsi produk – produk organik harus melindungi dan memberikan keuntungan bagi lingkungan secara umum, termasuk di dalamnya tanah, iklim, habitat, keragaman hayati, udara dan air.
3.      Prinsip Keadilan
Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama.
Keadilan dicirikan dengan kesetaraan, saling menghormati, berkeadilan dan pengelolaan dunia secara bersama, baik antar manusia dan dalam hubungannya dengan makhluk hidup yang lain. Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam pertanian organik harus membangun hubungan yang manusiawi untuk memastikan adanya keadilan bagi semua pihak di segala tingkatan; seperti petani, pekerja, pemroses, penyalur, pedagang dan konsumen.
Pertanian organik harus memberikan kualitas hidup yang baik bagi setiap orang yang terlibat, menyumbang bagi kedaulatan pangan dan pengurangan kemiskinan. Pertanian organik bertujuan untuk menghasilkan kecukupan dan ketersediaan pangan ataupun produk lainnya dengan kualitas yang baik. Prinsip keadilan juga menekankan bahwa ternak harus dipelihara dalam kondisi dan habitat yang sesuai dengan sifat-sifat fisik, alamiah dan terjamin kesejahteraannya.
4.      Prinsip Perlindungan
Pertanian organik harus dikelola secara hati – hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang danmendatang serta lingkungan hidup.
Pertanian organik merupakan suatu sistem yang hidup dan dinamis yang menjawab tuntutan dan kondisi yang bersifat internal maupun eksternal. Para pelaku pertanian organik didorong meningkatkan efisiensi dan produktifitas, tetapi tidak boleh membahayakan kesehatan dan kesejahteraannya.
Karenanya, teknologi baru dan metode–metode yang sudah ada perlu dikaji dan ditinjau ulang. Maka, harus ada penanganan atas pemahaman ekosistem dan pertanian yang tidak utuh.
Prinsip ini menyatakan bahwa pencegahan dan tanggung awab merupakan hal mendasar dalam pengelolaan, pengembangan dan pemilihan teknologi di pertanian organik. lmu pengetahuan diperlukan untuk menjamin bahwa pertanian organik bersifat menyehatkan, aman dan ramah lingkungan. Tetapi pengetahuan ilmiah saja tidaklah cukup. Seiring waktu, pengalaman praktis yang dipadukan dengan kebijakan dan kearifan tradisional menjadi solusi tepat. Pertanian organik harus mampu mencegah terjadinya resiko merugikan dengan menerapkan teknologi tepat guna dan menolak teknologi yang tak dapat diramalkan akibatnya, seperti rekayasa genetika (genetic engineering). segala keputusan harus mempertimbangkan nilai – nilai dan kebutuhan dari semua aspek yang mungkin dapat terkena dampaknya, melalui proses – proses yang transparan dan artisipatif.

2. Kelebihan dari pertanian organik
            Sistem pertanian organik mempunyai tujuh kenggulan dan keutamaan sebagai berikut (Salikin, 2003:55-56)

  1. Orisinil. Sistem pertanian organik lebih mengandalkan keaslian atau orisinalitas sistem budidaya tanaman atau hewan dengan menghindari rekayasa genetika ataupun introduksi teknoloi yang tidak selaras alam. Intervensi budidaya manusia tehadap tanaman atau hewan tetap mengikuti kaidah-kaidah alamiah yang selaras, serasi, dan seimbang.
  2. Rasional. Sistem pertanian organik berbasis rasionalitas bahwa hukum keseimbanagan alamiah adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Nilai-nilai rasionalitas harus digunakan secara seimbang dengan sistem nilai agama, etika,estetika, yang menempatkan manusia sebagai makhluk mulia.
  3. Global. Saat ini, sistem pertanian organik menjadi isu global dan mendapatkan respon serius dikalanagaan masyarakat pertanian, terutama di negara-negara maju dimana masyarakat sudah sangat sadar bahwa pertanian ramah lingkungan menjadi faktor penentu kesehatan manusia dan kesinambungan lingkungan.
  4. Aman. Sistem pertanian organik menempatkan keamanan produk pertanian, baik bagi kesehatan manusia ataupun bagi lingkungan, sebagai pertimbangan utama.
  5. Netral. Sistem pertanian organik tidak menciptakan ketergantungan atau bersifat netral sehingga tidak memihak pada salah satu bagian ataupun pelaku dalam sistem agroekosistem.
  6. Internal. Sistem pertanian organik selalu berupaya mendayagunakan potensi sumber daya alam internal secara intensif. Artinya, introduksi input- input pertanaian dari luar ekosistem pertanian sedapat mungkin dihindari untuk mengurangi terjadinya disharmoni siklus agroekosistem yang sudah berlangsung lama dan terkendali.
  7. Kontinuitas. Sistem pertanian organik tidak berorientasi jangka pendek, tetapi lebih pada pertimbanagan jangka panjang untuk menjamin keberlangsungan jutaan kehidupan, baik untuk generasi sekarang ataupun yang akan datang.


3. Kaidah-kaidah melakukan pertanian organik
            Menurut Priyowidodo (2016:1) dalam praktek-praktek pertanian organik, setidaknya terdapat kaidah-kaidah utama yang harus dipatuhi:
-          Penyiapan lahan
Lahan untuk pertanian organik harus terbebas dari residu pupuk dan obat-obatan kimia sintetis. Proses konversi lahan dari pertanian konvensional ke pertanian organik membutuhkan waktu setidaknya 1-3 tahun. Hal lain yang harus diperhatikan adalah lingkungan disekitar lahan. Pencemaran zat kimia dari kebun tetangga bisa merusak sistem pertanian organik yang telah dibangun. Zat-zat pencemar bisa berpindah ke lahan organik kita karena dibawa oleh air dan udara.
-          Kondisi pengairan
Kondisi pengairan atau irigasi menjadi penentu juga dalam pertanian organik. pilih lahan yang mempunyai pengairan langsung dari mata air terdekat. Kadar residu kimia dalam saluran air yang besar biasanya sangat rendah, dan airnya masih bisa digunakan untuk pertanian organik.
-          Penyiapan benih tanaman
-          Pupuk dan penyubur tanah
Pemupukan dalam pertanian organik wajib menggunakan pupuk organik. Jenis pupuk organik yang diperbolehkan adalah pupuk hijau, pupuk kandang, pupuk kompos dan variannya, serta pupuk hayati.
-          Penanganan pasca panen
Benih yang digunakan dalam pertanian organik harus berasal dari benih organik.
-          Pengendalihan hama dan penyakit
Pengendalian hama dalam pertanian organik sebaiknya menerapkan konsep pengendalian hama terpadu.
Pengendalian organisme penganggu tanaman bisa memanfaatkan:
·         Pemilihan varietas yang cocok
·         Rotasi tanaman
·         Menerapkan kultur teknis yang baik, seperti pengolah tanah, pemupukan, sanitasi lahan, dll.
·         Memanfaatkan musuh alami atau predator hama.
·         Menerapkan eksosistem pertanian yang beragam, tidak monokultur

Proses pencucian atau pembersihan produk hendaknya menggunakan air yang memenuhi standar baku mutu organik. Dalam penyimpanan dan pengangkutan produk organik sebaiknya tidak dicampur dengan produk non organik. Untuk memberikan nilai tambah, sebaiknya kemas produk-produk organik dengan bahan yang ramah lingkungan dan bisa di daur ulang.

Penutup
Indonesia merupakan negara yang mata pencaharian utama adalah bercocok tanam. Namun, lahan pertanian sudah semakin sempit dan pola pikir masyarakat memandang sebelah mata tentang sektor pertanian. solusi untuk memajukan pertania indonesia di masa depan dan pertanian Indonesia yang ramah lingkungan adalah dengan pertanain organik. Karena dengan pertanian organik akan membawa pertanian dalam jangka panjang dan memberikan solusi pangan yang sehat.

Adanya sistem organik agar para petani sedikit demi sedikit dapat dikurangi penggunaan bahan-bahan kimia yang akan membuat pertanian di Indonesia semakin berkualiatas.

Daftar Pustaka

Makudo, Ayu. 2012. Pertanian organik. http://ayumakudo.blogspot.co.id/2012/11/artikel-pertanian-organik.html Diakses tanggal 20 juni 2016 pukul 20.07
Prawira, Yp. Tanpa tahun. Pertanain Organik. https://yprawira.wordpress.com/pertanian-organik/  Diakses tanggal 20 juni 2016 pukul 20.00 WIB
Priyowidodo, Titis. 2016. Memulai usaha pertanian organik. http://alamtani.com/pertanianorganik.html  . Diakses tanggal 20 juni 2016 pukul 20.00 WIB
Sulistiani, S. 2012. Pertanian Organik. eprints.undip.ac.id/42360/2/%23Bab_2.pdf. Diakses 20 Juni 2016 pukul 20.16

Salikin,Karwan A.. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Ambarawa. Kanisius


SEMOGA BERMANFAAT 














Sunday, June 12, 2016

SIFAT-SIFAT SEKUNDER TANAMAN KARET

Posted by Unknown On 2:18:00 AM | No comments
SIFAT-SIFAT SKUNDER TANAMAN KARET

Klon Tanaman karet unggul yang dianjurkan selain mempunyai potensi produksi lateks(getah) yang tinggi juga diharapkan mempunyai sifat sekunder yang baik. 

Sifat-sifat sEkunder Tanaman Karet tersebut antara lain adalah:
  1. Pertumbuhan lilit batang pada masa Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) maupun Tanaman Menghasilkan (TM) relatif cepat.Tebal Kulit (TK) yang baik.
  2. Disamping itu juga memperhatikan Ketahanan Terhadap Angin (KA).
  3. Kering Alur Sadap (KAS).
  4.  Respon Terhadap Stimulan (RS).
  5. Resistensi Klon terhadap Penyakit Gugur Daun Oidium (OI), Colletotrichum (Coll), Corynespora (Cory) danJamur Upas (JU).

NAMA atau SINGKATAN KLON KARET

Posted by Unknown On 12:41:00 AM | 1 comment
Biji beberapa klon Karet
(Source: https://gtuneland.files.wordpress.com/2011/03/klon-karet.jpg)

KLON TANAMAN KARET

Nama klon/Singkatan Klon Karet pada dasarnya adalah singkatan dari nama tempat, badan atau lembaga penghasil klon tersebut. Sekedar untuk pengetahuan, ada baiknya kita mengetahui nama klon-klon karet yang sering digunakan.
  1. AVROS :   Algemene   Vereniging   van   Rubberplanters Ooskust   van Sumatera
  2. BPM : Balai/Pusat Penelitian Perkebunan Medan
  3. BPPJ : Balai/Pusat Penelitian Perkebunan Jember
  4. GT : Gondang Tapen
  5. GYT : Good Year Type
  6. IAN : Instituto Agronomico dede Norte (Brazil)
  7. IRR : Indonesian Rubber Research
  8. LCB : Landbouw Caoutchuc Bedrijf
  9. PPN : Perusahaan Perkebunan Negara
  10. PB : Prang Besar
  11. PR : Proefstation Rubber
  12. RCG : Rubber Research Center Getas
  13. RRIC : Rubber Research Institute of Ceylon
  14. RRIM : Rubber Research Institute of Malaysia
  15. Tjir : Tjirandji
  16. WR : Wangun Reja

Semoga bermanfaat ː̗(^▽^)ː̖ 

Friday, June 3, 2016

Ogan Ilir Update

Posted by Unknown On 11:04:00 AM | No comments


Ogan Ilir Update adalah Akun Sosial Media yang mengekspos Tentang kabupaten Ogan Ilir
Logo Ogan Ilir update Terbaru

Logo Ogan Ilir update lama


Akun-akun dari Ogan Ilir Update, yaitu:

Instagram

(silakan klik gambar berikut)



Facebook

(silakan klik gambar berikut)
www.facebook.com/igoganilir



--------------------------------------------------------------------------------------------------




Saturday, May 7, 2016


Logo Himagrotek Unsri

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

LAPORAN TETAP
PRAKTIKUM PESTISIDA DAN APLIKASINYA

“UJI TOKSISITAS RESIDU INSEKTISIDA BERBAHAN AKTIF DIMEHYPO PADA TANAMAN KUBIS (Brassica oleracea) TERHADAP SERANGGA JANGKRIK
(Gryllus asimilis)


 





M. DENI
05071281419188






PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDERALAYA
2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia (UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan). Setiap orang berhak mendapatkan pangan yang mengandung zat gizi dan aman dari segala kontaminan yang merugikan (UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Kemungkinan pangan untuk terkontaminasi semakin tinggi, sebagai akibat dari suatu penerapan teknologi (Slamet, 1994). Teknologi pertanian ditujukan untuk mengatasi masalah yang muncul pada pertanian, yaitu Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) (Suprapti, 2011). Dalam perspektif kesehatan, penerapan teknologi adalah suatu risiko bagi kesehatan (Achmadi, 2008).
Sayuran dalam kehidupan manusia sangat berperanan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkaan gizi, karena sayuran merupakan salah satu sumber mineral dan vitamin yang dibutuhkan manusia.
Konsumsi sayuran oleh masyarakat saat ini masih dibawah kebutuhan gizi yang seharusnya. Konsumsi sayuran oleh rakyat Indonesia masih sekitar 61 % dari kebutuhan yang seharusnya. Pada tahun 1978 telah ditetapkan bahwa untuk memenuhi gizi rata-rata orang Indonesia memerlukan 65,7 kg sayuran dalam satu tahun.
            Konsumsi sayuran yang masih rendah tersebut disebabkan banyak hal antara lain tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang masih rendah dan produktvitas sayuran yang rendah. Faktor-faktor pembatas produktivitas yang penting adalah adanya serangan berbagai jeis hama tanaman dan masalah penanganan pasca panen yang dapat menurunkan kuantias dan kualitas sayuran. Salah atu usaha agar produktivitas sayuran dapat ditingkatkan diperlukan tindakan pengendalian hama dan penanganan pasca panen yang efektif dan efisien.
Risiko bagi kesehatan masyarakat adalah adanya residu insektisida dalam makanan (Lu, 1995).  Berbagai penelitian pada bahan pangan di beberapa wilayah di Indonesia, menunjukan bahwa pada makanan terbukti adanya residu beberapa insektisida, bahkan berbagai temuan Kubis merupakan sayuran daun utama di dataran tinggi bahkan merupakan salah satu sayuran prioritas di Indonesia (Adiyoga dkk, 2008). Menurut data BPS (2010), jenis komoditi hasil pertanian yang paling dominan diproduksi di Indonesia tahun 2010 adalah sayuran kubis (1,384,044ton). Dalam pemanfaatannya, kubis dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan (Permentan No.88 Tahun 2011).
Kadar residu insektisida dapat menurun oleh karena proses pengolahan makanan. Hal ini diakibatkan oleh karena proses hidrolisis, penguapan, dan degradasi zat kimia (Soemirat, 2009). Proses pencucian adalah hal yang umum dilakukan di rumah tangga karena dapat dilakukan dengan baik air maupun larutan pencuci yang tersedia di dapur. Bahan kimia alami yang direkomendasikan untuk tujuan penurunan residu pestisida adalah garam (NaCl), natrium bikarbonat (NaHCO3), dan asam cuka (CH3COOH) (Klinhom, 2008).
Residu insektisida masih dapat tertinggal pada sayuran yang diperlakukan dengan insektisida. Residu insektisida diketahui dapat menyebabkan gangguan kesehatan (keracunan) baik akut maupun kronik. Upaya penurunan kadar residu perlu dilakukan agar pangan aman dikonsumsi.
Oleh karena penggunaan pestisida yang intensif di lapangan, residu pestisida dalam sayuran, terutama sayuran yang biasa dikonsumsi dalam bentuk bahan mentah, merupakan masalah sayuran yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan kualitas dan keamanan sayuran terhadap kesehatan masyarakat. Untuk meneliti permasalahan tersebut perlu dilakukan analisis sejak dari perlakuan pestisida di lapangan sampai pada cara pengolahan sayuran.


1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk menguji toksisitas residu insektisida berbahan aktif Dimehypo pada tanaman Kubis (Brassica oleracea) terhadap serangga Jangkrik (Gryllus asimilis).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kubis
Kol atau kubis merupakan tanaman sayur famili Brassicaceae berupa tumbuhan berbatang lunak yang dikenal sejak jaman purbakala (2500-2000 SM) dan merupakan tanaman yang dipuja dan dimuliakan masyarakat Yunani Kuno. Kubis atau kol dengan nama latin (Brassica Oleracea Var Capitata) pada mulanya merupakan tumbuhan liar di daerah subtropik. Tanaman ini berasal dari daerah Eropa yang ditemukan pertama di Cyprus, Italia dan Mediteranian. Tanaman kubis termasuk dalam golongan tanaman sayuran semusim atau umur pendek. Tanaman kubis hanya dapat berproduksi satu kali setelah itu akan mati. Pemanenan kubis dilakukan pada saat umur kubis mencapai 60 – 70 hari setelah tanam (Cahyono, 2001).
Kubis memiliki ciri khas membentuk krop. Pertumbuhan awal ditandai dengan pembentukan daun secara normal. Namun semakin dewasa daun-daunnya mulai melengkung ke atas hingga akhirnya tumbuh sangat rapat. Pada kondisi ini petani biasanya menutup krop dengan daun-daun di bawahnya supaya warna krop makin pucat. Apabila ukuran krop telah mencukupi maka kubis siap dipanen. Kubis segar mengandung banyak vitamin, seperti vitamin A B, C dan E. tingginya kandungan vitamin C pada kubis dapat mencegah timbulnya sariawan. Vitamin-vitamin ini sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Mineral yang banyak dikandung adalah kalium, kalsium, fosfor, natrium, dan besi. Kubis segar juga mengandung sejumlah senyawa yang merangsang pembentukan glutation, zat yang diperlukan untuk menonaktifkan zat beracun dalam tubuh manusia.
 Adapun gambar tananam kubis dapat dilihat pada berikut
Kubis adalah salah satu sayuran dari keluarga cruciferae (brassicaceae) yang dapat menjadi pilihan makanan yang baik karena memberikan serat dan vitamin dasar namun rendah kalori. Sayuran ini lazim ditanam di Indonesia seperti keluarga cruciferae yang lain seperti kubis bunga, kubis tunas, brokoli, sawi, dll. Sayuran ini dapat ditanam di dataran rendah maupun di dataran tinggi dengan curah hujan rata-rata 850-900 mm. Daunnya bulat, oval, sampai lonjong, membentuk roset akar yang besar dan tebal, warna daun bermacam-macam, antara lain putih (forma alba), hijau, dan merah keunguan (forma rubra). Buahnya buah polong berbentuk silindris, panjang 5-10 cm, berbiji banyak. Biji berdiameter 2-4 mm, berwarna cokelat kelabu.
Kubis mempunyai nama daerah kol, kobis, kubis telur, kubis krop dan nama asingnya yaitu cabbage. Sedangkan nama simplisia dari kubis adalah Brassicae capitatae folium (daun kubis) karena yang dimanfaatkan sebagai obat adalah bagian daunnya. Umur panennya berbeda-beda, berkisar dari 90 hari sampai 150 hari. Kubis dapat diperbanyak dengan biji atau setek tunas.

2.2. Jangkrik
 Jangkrik merupakan serangga atau insekta berukuran kecil sampai besar yang berkerabat dekat dengan belalang dan kecoa karena diklasifikasikan ke dalam ordo Orthoptera. Jangkrik juga merupakan hewan yang aktif pada malam hari dan berdarah dingin. Klasifikasi jangkrik adalah filum Arthopoda, kelas Hexapoda (Insecta), ordo Orthoptera, sub ordo Ensifera, famili Gryllidae (Jangkrik), sub famili Gryllinae(Jangkrik lapang/rumah), genus Gryllus, spesies Gryllus bimaculatus (Jangkrik Kalung), Gryllus mitratus (Jangkrik Cliring) dan Gryllus testaceus (Jangkrik Cendawang). Morfologi tubuh jangkrik Kalung sama dengan jangkrik-jangkrik pada umumnya yaitu terdiri atas tiga bagian utama kepala, toraks (dada) dan abdomen (perut) serta setiap spesies jangkrik memiliki ukuran dan warna yang beragam (Borror et al., 1992).
Jangkrik termasuk serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna. Siklus hidupnya dimulai dari telur kemudian menjadi jangkrik muda (nimfa) dan melewati beberapa kali stadium instar terlebih dahulu sebelum menjadi jangkrik dewasa (imago) yang ditandai dengan terbentuknya dua pasang sayap (Borror et al., 1992).

2.3 Insektisida
Salah satu jenis dari pestisida adalah insektisida. Insektisida merupakan bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh serangga. Insektisida dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, sistem hormon, sistem pencernaan, serta aktivitas biologis lainnya hingga berujung pada kematian serangga pengganggu tanaman Insektisida termasuk salah satu jenis pestisida. Insektisida dapat dibedakan menjadi golongan organik dan anorganik. Insekstisida organik mengandung unsur karbon sedangkan insektisida anorganik tidak. Insektisida organik umumnya bersifat alami, yaitu diperoleh dari makhluk hidup sehingga disebut insektisida hayati.
Insektisida yang paling banyak beredar di pasaran merupakan insektisida yang berada pada golongan organofosfat. Organofosfat merupakan insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya. Organofosfat dapat terurai dilingkungan dalam jangka waktu ± 2 minggu. Insektisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat adalah diazinon, dimetoat, fenitrotin, klorpirifos, dan profenofos. Insektisida jenis organofosfat mempunyai toksisitas sedang terhadap mamalia, tetapi dapat meracuni pemakainya melalui mulut, kulit ataupun pernafasan (Yusniati, 2008).
Senyawa organofosfat tidak stabil karena mudah terurai pada permukaan tanah melalui proses dekomposisi dengan produk akhir yang dihasilkan berupa karbon dioksida, dan air (Irie, 2007). Senyawa golongan organofosfat menghambat enzim asetilkolin esterase yang berfungsi menghidrolisis asetilkolin pada sinapsis sistem syaraf. Keracunan akibat senyawa golongan organofosfat akan menyebabkan otot-otot menjadi kejang dang penderita akan mengelepar – gelepar serta pusing, gemetar dan penglihatan menjadi kabur. Golongan organofofosfat yang banyak beredar di pasaran selain klorpirifos adalah profenofos (Yusniati, 2008).

2.4 Residu Pestisida Pada Sayur
Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau tanah. Selain itu, residu pestisida juga diartikan sebagai sisa pestisida yang ditinggalkan sesudah perlakuan dalam jangka waktu yang telah menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa khemis dan fisis mulai bekerja. Residu pestisida dapat hilang atau terurai dengan cepat (disipasi) atau lambat (persistensi). Residu pestisida pada tanaman dapat berasal dari hasil penyemprotan pada tanaman. Residu pestisida terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang, daun, buah, dan juga akar. Khusus pada buah, residu ini terdapat pada permukaan maupun daging dari buah tersebut. Walaupun sudah dicuci atau dimasak, residu pestisida ini masih terdapat pada bahan makanan (Zulkarnain, 2010).
Penggunaan pestisida khususnya pada tanaman akan meninggalkan residu pada produk pertanian. Bahkan pestisida tertentu masih dapat ditemukan sampai saat produk pertanian tersebut diproses untuk pemanfaatan selanjutnya maupun dikonsumsi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Munarso, dkk. (2009) di Malang dan Cianjur ditemukan residu pestisida pada kubis, tomat, dan wortel. Hasil analisis menemukan sebanyak 0,374 mg/kg endosulfan pada kubis, 0,106 mg/kg endosulfan pada wortel, dan 0,079 mg/kg profenofos pada tomat. Selain itu ditemukan residu pestisida pada sayuran kacang panjang dengan total 0.0129 mg/kg, serta penelitian yang dilakukan oleh Elvira, dkk (2013) di Pasar Pannampu dan Lotte Mart Kota Makasar terdapat kandungan residu insektisida berbahan aktif profenofos pada sayuran sawi sebesar 0,0197 mg/kg.


BAB III
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat
Adapun Praktikum Pestisida dan Aplikasinya ini dilakukan pada hari Kamis, April  2016, Pukul 11.30 WIB s-d selesai yag bertempat di Ruang Insectarium, Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Inderalaya.

3.2. Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu : 1). Botol selai 2). Plastik 3). Kertas 4). Karet 5). Gelas ukur  6). Pipet tetes 7). Kamera 8). Alat tulis 9). Aplikasi SPSS. Adapun bahan yang digunakan yaitu : 1). Kubis 2). Jangkrik 3). Insektisida berbahan aktif Dimehypho 4). Air.

3.3. Cara Kerja          
Adapun cara kerja dari praktikum ini adalah:
1.      Siapakan Jangkrik dan Kubis.
2.      Siapkan botol selai.
3.      Masukan jangkrik kedalam botol selai.
4.      Buat perlakuan terhadap kubis, dengan perlakuan tanpa dicuci, dicuci, dan di beri Insektisida Dimehypo.
5.      Kemudian masukan masing-masing kubis kedalam botol selai, lalu botol ditutup.
6.      Amati jangkrik yang mati pada beberapa perlakuan tersebut.
7.      Catat jangkrik yang mati, kemudian lakukan perhitungan probit dengan Aplikasi SPSS.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tanggal
Perlakuan
Ulangan
Jumlah jangkrik yang mati
Jumlah jangkrik yang hidup





Jum’at, 16 April 2016

1
1
0
10
2
3
7

2
1
1
9
2
0
10

3
1
2
8
2
2
8

4
1
10
0
2
0
10

Tabel 1. Respon Jangkring terhadap tiap perlakuan

Keterangan :
Perlakuan 1 = Kubis langsung tanpa pestisida dan tanpa dicuci
Perlakuan 2 = Kubis dicuci dengan air
Perlakuan 3 = Kubis + Insektisida
Perlakuan 4 = Tidak diberi kubis (diberi makanan berupa daun kering yang berasal dari tempat penjual



Tabel 1.2; LD 50 Perlakuan Kontrol


Tabel 1.3 LD 50 perlakuan dicuci


Tabel 1.3 Perlakuan Insektisida



Tabel 1.4 Perlakuan tanpa Kubis
 



4.1 Pembahasan
            Residu pestisida adalah pestisida yang masih tersisa pada bahan pangan setelah diaplikasikan ke tanaman pertanian. Tingkat residu pada bahan pangan umumnya diawasi dan ditetapkan batas amannya oleh lembaga yang berwenang di berbagai negara. Paparan populasi secara umum dari residu ini lebih sering terjadi melalui konsumsi bahan pangan yang ditanam dengan perlakuan pestisida, ditanam atau diproses di tempat yang dekat dengan area berpestisida. Banyak dari residu pestisida ini merupakan pestisida sintetik berbahan dasar klor yang menunjukan sifat bioakumulasi yang dapat terkumpul dan menumpuk di dalam tubuh dan lingkungan hingga pada jumlah yang membahayakan. Senyawa kimiawi yang persisten dapat terakumulasi di dalam rantai makanan tanpa terurai, dan telah terdeteksi di berbagai produk hewan mulai dari daging sapi, daging ayam, telur ayam, dan daging ikan.
Insektisida yang diaplikasikan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman kubis bersifat persisten atau sukar terurai, hal ini menyebabkan bahan aktif yang ada didalam insektisida tersebut meninggalkan residu bahan aktif pada tanaman kubis yang menempel pada permukaan tanaman kubis itu sendiri. Seperti yang dijelaskan oleh Arnoldi (2012) bahwa, residu insektisida masih dapat tertinggal pada sayuran yang diperlakukan dengan insektisida. Residu insektisida diketahui dapat menyebabkan gangguan kesehatan (keracunan) baik akut maupun kronik. Upaya penurunan kadar residu perlu dilakukan agar pangan aman dikonsumsi. Hal ini tentunya akan membahayakan konsumen yang mengkonsumsi kubis terlebih lagi yang tidak lagi dicuci.Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian kubis yang tidak diberikan perlakuan apapun, kandungan bahan aktifnya masih tinggi. LD 50 dari kubis yang dicuci lebih tinggi daripada kubis yang tidak lagi dicuci, hal ini menunjukkan bahwa kandungan bahan aktif kubis yang dicuci mengurangi residu insektisida yang ada dikubis yang mana ditunjukkan oleh LD yang didapat dari hasil perhitungan probit menggunakan software SPSS.
Tingginya tingkat penggunaan Insektisida oleh petani Indonesia membuat kubis-kubis yang beredar dipasaran membuat kubis-kubis tersebut perlu perhatian dan perlakuan lebih untuk membersihkan residu insektisida yang tertinggal dan mengendap dikubis yang ada dipasaran. Hal ini disampaikan oleh Agung (2008) bahwa, adapun untuk mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman kubis seperti; Ulat Tritip (Plutellaxylostella), Ulat Titik Tumbuh (Crocidolomia binotalis Zell), Ulat Grayak (Prodenia litura F), Kutu Daun (Myzus persicae Sulz), dan penyakit yang disebabkan oleh cendawan dan bakteri seperti penyakit rebah batang yang disebabkan oleh cendawan Pythium debaryanum, dan penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonascampestris, petani mengunakan pestisida seperti, Curacron 500 EC, Decis 2,5 EC, Dursban 200 EC, Sevin 85 WP Dharmasan 600 EC Diazinon 60 EC dan Dharmabas 500 EC. Pengendalian yang dilakukan oleh petani terhadap hama dan penyakit diatas sangat tergantung dari kondisi tanaman di lapangan, tapi secara umum rata-rata petani melakukan penyemprotan sejak tanam sampai panen antara 4 - 6 kali (85%) sesuai dosis dan konsentrasi anjuran dalam kemasan insektisida. Sedangkan penanganan pascapanen dilakukan hanya dengan menghilangkan helaian daun paling luar yang terkena serangan hama penyakit atau yang sudah tua/robek dan kotor karena tanah pada saat panen dan tidak dilakukan pencucian (100%). Krop Kubis atau Kol dari lahan pertanian langsung dibawa ke pasar tujuan, hasil survei di tingkat pedagang juga menunjukkan tidak dilakukan pencucian terhadap krop kubis yang dijual (100%).
Yang lebih mengejutkan bahwa LD 50 dari kubis yang tidak diperlakukan apa-apa lebih tinggi ketimbang kubis yang diberi perlakuan tambahan insektisida, hal tersebut menunjukkan bahwa insektisida yang diaplikasikan oleh petani melebihi dosis yang seharusnya untuk pengaplikasian insektisida. Hal ini sangat memprihatikan karena hal ini akan merusak lingkungan sekitar perkebunan akibat dari penggunaan insektisida yang tidak bijak dan akan memberikan dampak buruk bagi konsumen yang kurang teliti didalam mengkonsumsi kubis yang memiliki banyak residu insektisida yang ada didalamnya.

           



BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
              Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah:
1.      Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan setiap orang berhak mendapatkan pangan yang mengandung zat gizi dan aman dari segala kontaminan yang merugikan.
2.      Konsumsi sayuran masih rendah yang disebabkan banyak hal antara lain tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang masih rendah dan produktvitas sayuran yang rendah.
3.      Kol atau kubis merupakan tanaman sayur famili Brassicaceae berupa tumbuhan berbatang lunak yang dikenal sejak jaman purbakala (2500-2000 SM) dan merupakan tanaman yang dipuja dan dimuliakan masyarakat Yunani Kuno.
4.      Penggunaan pestisida khususnya pada tanaman akan meninggalkan residu pada produk pertanian. Bahkan pestisida tertentu masih dapat ditemukan sampai saat produk pertanian tersebut diproses untuk pemanfaatan selanjutnya maupun dikonsumsi.
5.      Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau tanah.

6.1. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dari praktikum ini adalah agar kita lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi sayuran yang ada dipasaran, terutama kubis karena masih terdapat residu pestisida yang digunakan untuk mengendali-kan ham dan penyakit tanaman tersebut, dan sebaiknya sayuran tersebut dicuci terlebih dahulu sebelum dimasak dan dikonsumsi.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F., 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: UI Press.
Adiyoga, W. 2008. Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Sayuran di Indonesia. Jurnal Hortikultura 9(2): 258-265.
Alen, Y., Zulhidayati. 2015. Pemeriksaan Residu Pestisida Profenofos pada Selada (Lactuca sativa L.) dengan Metode Kromatografi Gas. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 1(2), 140-149.

Azis, Thamrin. 2011. Analisis Residu Pestisida Diazinon Dalam Tanaman Kubis (Brassica Olarecea) Menggunakan Biosensor Elektrokimia Secara Voltametri Siklik. J. Prog. Kim. Si. 2011, 1 (1) 32-40 32
Borror. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga, edisi VI. Yogyakarta : Gajah Mada Press
BPS, 2010. Badan Pusat Statistik. (online). https://www.bps.go.id/ (Di akses pada 29 april 2016)
Cahyono, B. (2001). Kubis Bunga dan Broccoli. Kanisius, Yogyakarta. Halaman. 12-14.
Elvira, dkk., 2013. Identifikasi Residu Pestisida Malathion Dalam Sayuran Sawi (Brassica juncea L.) di Pasar Pannampu dan Lotte Mart Kota Makassar. Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Unhas Makassar.

Frank, C. Lu., 1995, Toksikologi Dasar Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi II, Penerjemah Edi Nugroho, 358, UI-Press, Jakarta.

Hartini, E., Supriyono,  2013.  Laporan Akhir  Dosen Pemula. Universitas Dian Nuswantoro. Semarang.

Irie, M., 2007, Pestiside residues in food, report of the JMPR 2007, FAO plant production and protection paper, 191, pp 210 pages 1357.
Klinhom P, Markvichitr K, Vijchulata P, Tumwasorn S, Bunchasak C, Choothesa A. 2008. Effect Of Restricted Feeding On Metabolic Adaptations Of Kamphaengsaen And Crossbred Brahman Heifers. Animal Science Journal 77: 399-406.

Maruli,Arnold. Dkk.,  2012. Analisa Kadar Residu Insektisida Golongan Organofosfat Pada Kubis (Brassica oleracea) Setelah Pencucian Dan Pemasakan Di Desa Dolat Rakyat Kabupaten Karo Tahun 2012. Departemen Kesehatan Lingkungan Universitas Sumatera Utara, Medan.
Munarso, Joni, dkk. 2009. Studi Kandungan Residu Pestisida pada Kubis, Tomat dan wortel Di Malang dan Cianjur. Buletin Tekhnologi Pascapanen Pertanian, Vol 5 (31) (online). http://www.litbangpascapanenpertanian. co.id (Akses 28-04-2016).
Munarso, S.Joni. Miskiyah, Dan Broto, Wisnu. 2009. Studi Kandungan Residu Pestisida Pada Kubis, Tomat, Dan Wortel Di Malang Dan Cianjur. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Permentan No.88 Tahun 2011. Tentang Pengawasan Keamanan Pangan Terhadap Pemasukan Dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan.
Pratiwi, Yuli. 2015. Analysis Of Pesticide Thiametoxam Pesticide Residu Cabbage In Vegetables (Brassica oleracea var. capitata L). Pharmaconjurnal Ilmiah Farmasi – Unsrat Vol. 4 No. 1 Februari 2015 Issn 2302 - 2493
Sitambul, R. 2014. Analisis Residu Pestisida Klorpirifos Pada Sawi Hijau (Brassica rapa var.parachinensis L.) Asal Desa Kanreapia Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa Secara Kromatografi Gas. Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Makassar.
Soemirat, Juli. 2009. Epidemiologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sudewa, A. K., Residu Pestisida Pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea L.), Ecotrophic ♦ 4 (2) : 125130.
Suprapti. W. (2010). Perilaku Konsumen Pemahaman Dasar Dan Aplikasinya Dalam Strategi Pemasaran. Bali : Udayana University Press.
Undang Undang  No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang Undang  No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
Yuliastuti, Sri. Teknik Analisis Pestisida Organoklorin Pada Tanaman Kubis Dengan Menggunakan Kromatografi Gas. Buletin Teknik Pertanian Vol. 16, No. 2, 2011: 74-76.
Yusnani, Anwar, D., 2013. Identifikasi Residu Pestisida Golongan Organofosfat Pada Sayuran Kentang Di Swalayan Lottemart Dan Pasar Terong Kota Makassar Tahun 2013.  Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian Penyakit, Makassar.
Yusniati, 2008. Pengendalian Hama Terpadu Pada Padi Sawah. Diakses pada 28 April 2016, www.sdsindonesia.com.
Zulkarnain, 2010. Dasar-Dasar Hortikultura. PT Bumi Aksara, Jakarta.

Blogroll

Translate

Pageviews last month

About