Saturday, May 7, 2016


Logo Himagrotek Unsri

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

LAPORAN TETAP
PRAKTIKUM PESTISIDA DAN APLIKASINYA

“UJI TOKSISITAS RESIDU INSEKTISIDA BERBAHAN AKTIF DIMEHYPO PADA TANAMAN KUBIS (Brassica oleracea) TERHADAP SERANGGA JANGKRIK
(Gryllus asimilis)


 





M. DENI
05071281419188






PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDERALAYA
2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia (UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan). Setiap orang berhak mendapatkan pangan yang mengandung zat gizi dan aman dari segala kontaminan yang merugikan (UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Kemungkinan pangan untuk terkontaminasi semakin tinggi, sebagai akibat dari suatu penerapan teknologi (Slamet, 1994). Teknologi pertanian ditujukan untuk mengatasi masalah yang muncul pada pertanian, yaitu Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) (Suprapti, 2011). Dalam perspektif kesehatan, penerapan teknologi adalah suatu risiko bagi kesehatan (Achmadi, 2008).
Sayuran dalam kehidupan manusia sangat berperanan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkaan gizi, karena sayuran merupakan salah satu sumber mineral dan vitamin yang dibutuhkan manusia.
Konsumsi sayuran oleh masyarakat saat ini masih dibawah kebutuhan gizi yang seharusnya. Konsumsi sayuran oleh rakyat Indonesia masih sekitar 61 % dari kebutuhan yang seharusnya. Pada tahun 1978 telah ditetapkan bahwa untuk memenuhi gizi rata-rata orang Indonesia memerlukan 65,7 kg sayuran dalam satu tahun.
            Konsumsi sayuran yang masih rendah tersebut disebabkan banyak hal antara lain tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang masih rendah dan produktvitas sayuran yang rendah. Faktor-faktor pembatas produktivitas yang penting adalah adanya serangan berbagai jeis hama tanaman dan masalah penanganan pasca panen yang dapat menurunkan kuantias dan kualitas sayuran. Salah atu usaha agar produktivitas sayuran dapat ditingkatkan diperlukan tindakan pengendalian hama dan penanganan pasca panen yang efektif dan efisien.
Risiko bagi kesehatan masyarakat adalah adanya residu insektisida dalam makanan (Lu, 1995).  Berbagai penelitian pada bahan pangan di beberapa wilayah di Indonesia, menunjukan bahwa pada makanan terbukti adanya residu beberapa insektisida, bahkan berbagai temuan Kubis merupakan sayuran daun utama di dataran tinggi bahkan merupakan salah satu sayuran prioritas di Indonesia (Adiyoga dkk, 2008). Menurut data BPS (2010), jenis komoditi hasil pertanian yang paling dominan diproduksi di Indonesia tahun 2010 adalah sayuran kubis (1,384,044ton). Dalam pemanfaatannya, kubis dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan (Permentan No.88 Tahun 2011).
Kadar residu insektisida dapat menurun oleh karena proses pengolahan makanan. Hal ini diakibatkan oleh karena proses hidrolisis, penguapan, dan degradasi zat kimia (Soemirat, 2009). Proses pencucian adalah hal yang umum dilakukan di rumah tangga karena dapat dilakukan dengan baik air maupun larutan pencuci yang tersedia di dapur. Bahan kimia alami yang direkomendasikan untuk tujuan penurunan residu pestisida adalah garam (NaCl), natrium bikarbonat (NaHCO3), dan asam cuka (CH3COOH) (Klinhom, 2008).
Residu insektisida masih dapat tertinggal pada sayuran yang diperlakukan dengan insektisida. Residu insektisida diketahui dapat menyebabkan gangguan kesehatan (keracunan) baik akut maupun kronik. Upaya penurunan kadar residu perlu dilakukan agar pangan aman dikonsumsi.
Oleh karena penggunaan pestisida yang intensif di lapangan, residu pestisida dalam sayuran, terutama sayuran yang biasa dikonsumsi dalam bentuk bahan mentah, merupakan masalah sayuran yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan kualitas dan keamanan sayuran terhadap kesehatan masyarakat. Untuk meneliti permasalahan tersebut perlu dilakukan analisis sejak dari perlakuan pestisida di lapangan sampai pada cara pengolahan sayuran.


1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk menguji toksisitas residu insektisida berbahan aktif Dimehypo pada tanaman Kubis (Brassica oleracea) terhadap serangga Jangkrik (Gryllus asimilis).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kubis
Kol atau kubis merupakan tanaman sayur famili Brassicaceae berupa tumbuhan berbatang lunak yang dikenal sejak jaman purbakala (2500-2000 SM) dan merupakan tanaman yang dipuja dan dimuliakan masyarakat Yunani Kuno. Kubis atau kol dengan nama latin (Brassica Oleracea Var Capitata) pada mulanya merupakan tumbuhan liar di daerah subtropik. Tanaman ini berasal dari daerah Eropa yang ditemukan pertama di Cyprus, Italia dan Mediteranian. Tanaman kubis termasuk dalam golongan tanaman sayuran semusim atau umur pendek. Tanaman kubis hanya dapat berproduksi satu kali setelah itu akan mati. Pemanenan kubis dilakukan pada saat umur kubis mencapai 60 – 70 hari setelah tanam (Cahyono, 2001).
Kubis memiliki ciri khas membentuk krop. Pertumbuhan awal ditandai dengan pembentukan daun secara normal. Namun semakin dewasa daun-daunnya mulai melengkung ke atas hingga akhirnya tumbuh sangat rapat. Pada kondisi ini petani biasanya menutup krop dengan daun-daun di bawahnya supaya warna krop makin pucat. Apabila ukuran krop telah mencukupi maka kubis siap dipanen. Kubis segar mengandung banyak vitamin, seperti vitamin A B, C dan E. tingginya kandungan vitamin C pada kubis dapat mencegah timbulnya sariawan. Vitamin-vitamin ini sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Mineral yang banyak dikandung adalah kalium, kalsium, fosfor, natrium, dan besi. Kubis segar juga mengandung sejumlah senyawa yang merangsang pembentukan glutation, zat yang diperlukan untuk menonaktifkan zat beracun dalam tubuh manusia.
 Adapun gambar tananam kubis dapat dilihat pada berikut
Kubis adalah salah satu sayuran dari keluarga cruciferae (brassicaceae) yang dapat menjadi pilihan makanan yang baik karena memberikan serat dan vitamin dasar namun rendah kalori. Sayuran ini lazim ditanam di Indonesia seperti keluarga cruciferae yang lain seperti kubis bunga, kubis tunas, brokoli, sawi, dll. Sayuran ini dapat ditanam di dataran rendah maupun di dataran tinggi dengan curah hujan rata-rata 850-900 mm. Daunnya bulat, oval, sampai lonjong, membentuk roset akar yang besar dan tebal, warna daun bermacam-macam, antara lain putih (forma alba), hijau, dan merah keunguan (forma rubra). Buahnya buah polong berbentuk silindris, panjang 5-10 cm, berbiji banyak. Biji berdiameter 2-4 mm, berwarna cokelat kelabu.
Kubis mempunyai nama daerah kol, kobis, kubis telur, kubis krop dan nama asingnya yaitu cabbage. Sedangkan nama simplisia dari kubis adalah Brassicae capitatae folium (daun kubis) karena yang dimanfaatkan sebagai obat adalah bagian daunnya. Umur panennya berbeda-beda, berkisar dari 90 hari sampai 150 hari. Kubis dapat diperbanyak dengan biji atau setek tunas.

2.2. Jangkrik
 Jangkrik merupakan serangga atau insekta berukuran kecil sampai besar yang berkerabat dekat dengan belalang dan kecoa karena diklasifikasikan ke dalam ordo Orthoptera. Jangkrik juga merupakan hewan yang aktif pada malam hari dan berdarah dingin. Klasifikasi jangkrik adalah filum Arthopoda, kelas Hexapoda (Insecta), ordo Orthoptera, sub ordo Ensifera, famili Gryllidae (Jangkrik), sub famili Gryllinae(Jangkrik lapang/rumah), genus Gryllus, spesies Gryllus bimaculatus (Jangkrik Kalung), Gryllus mitratus (Jangkrik Cliring) dan Gryllus testaceus (Jangkrik Cendawang). Morfologi tubuh jangkrik Kalung sama dengan jangkrik-jangkrik pada umumnya yaitu terdiri atas tiga bagian utama kepala, toraks (dada) dan abdomen (perut) serta setiap spesies jangkrik memiliki ukuran dan warna yang beragam (Borror et al., 1992).
Jangkrik termasuk serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna. Siklus hidupnya dimulai dari telur kemudian menjadi jangkrik muda (nimfa) dan melewati beberapa kali stadium instar terlebih dahulu sebelum menjadi jangkrik dewasa (imago) yang ditandai dengan terbentuknya dua pasang sayap (Borror et al., 1992).

2.3 Insektisida
Salah satu jenis dari pestisida adalah insektisida. Insektisida merupakan bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh serangga. Insektisida dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, sistem hormon, sistem pencernaan, serta aktivitas biologis lainnya hingga berujung pada kematian serangga pengganggu tanaman Insektisida termasuk salah satu jenis pestisida. Insektisida dapat dibedakan menjadi golongan organik dan anorganik. Insekstisida organik mengandung unsur karbon sedangkan insektisida anorganik tidak. Insektisida organik umumnya bersifat alami, yaitu diperoleh dari makhluk hidup sehingga disebut insektisida hayati.
Insektisida yang paling banyak beredar di pasaran merupakan insektisida yang berada pada golongan organofosfat. Organofosfat merupakan insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya. Organofosfat dapat terurai dilingkungan dalam jangka waktu ± 2 minggu. Insektisida yang termasuk ke dalam golongan organofosfat adalah diazinon, dimetoat, fenitrotin, klorpirifos, dan profenofos. Insektisida jenis organofosfat mempunyai toksisitas sedang terhadap mamalia, tetapi dapat meracuni pemakainya melalui mulut, kulit ataupun pernafasan (Yusniati, 2008).
Senyawa organofosfat tidak stabil karena mudah terurai pada permukaan tanah melalui proses dekomposisi dengan produk akhir yang dihasilkan berupa karbon dioksida, dan air (Irie, 2007). Senyawa golongan organofosfat menghambat enzim asetilkolin esterase yang berfungsi menghidrolisis asetilkolin pada sinapsis sistem syaraf. Keracunan akibat senyawa golongan organofosfat akan menyebabkan otot-otot menjadi kejang dang penderita akan mengelepar – gelepar serta pusing, gemetar dan penglihatan menjadi kabur. Golongan organofofosfat yang banyak beredar di pasaran selain klorpirifos adalah profenofos (Yusniati, 2008).

2.4 Residu Pestisida Pada Sayur
Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau tanah. Selain itu, residu pestisida juga diartikan sebagai sisa pestisida yang ditinggalkan sesudah perlakuan dalam jangka waktu yang telah menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa khemis dan fisis mulai bekerja. Residu pestisida dapat hilang atau terurai dengan cepat (disipasi) atau lambat (persistensi). Residu pestisida pada tanaman dapat berasal dari hasil penyemprotan pada tanaman. Residu pestisida terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang, daun, buah, dan juga akar. Khusus pada buah, residu ini terdapat pada permukaan maupun daging dari buah tersebut. Walaupun sudah dicuci atau dimasak, residu pestisida ini masih terdapat pada bahan makanan (Zulkarnain, 2010).
Penggunaan pestisida khususnya pada tanaman akan meninggalkan residu pada produk pertanian. Bahkan pestisida tertentu masih dapat ditemukan sampai saat produk pertanian tersebut diproses untuk pemanfaatan selanjutnya maupun dikonsumsi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Munarso, dkk. (2009) di Malang dan Cianjur ditemukan residu pestisida pada kubis, tomat, dan wortel. Hasil analisis menemukan sebanyak 0,374 mg/kg endosulfan pada kubis, 0,106 mg/kg endosulfan pada wortel, dan 0,079 mg/kg profenofos pada tomat. Selain itu ditemukan residu pestisida pada sayuran kacang panjang dengan total 0.0129 mg/kg, serta penelitian yang dilakukan oleh Elvira, dkk (2013) di Pasar Pannampu dan Lotte Mart Kota Makasar terdapat kandungan residu insektisida berbahan aktif profenofos pada sayuran sawi sebesar 0,0197 mg/kg.


BAB III
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat
Adapun Praktikum Pestisida dan Aplikasinya ini dilakukan pada hari Kamis, April  2016, Pukul 11.30 WIB s-d selesai yag bertempat di Ruang Insectarium, Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Inderalaya.

3.2. Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu : 1). Botol selai 2). Plastik 3). Kertas 4). Karet 5). Gelas ukur  6). Pipet tetes 7). Kamera 8). Alat tulis 9). Aplikasi SPSS. Adapun bahan yang digunakan yaitu : 1). Kubis 2). Jangkrik 3). Insektisida berbahan aktif Dimehypho 4). Air.

3.3. Cara Kerja          
Adapun cara kerja dari praktikum ini adalah:
1.      Siapakan Jangkrik dan Kubis.
2.      Siapkan botol selai.
3.      Masukan jangkrik kedalam botol selai.
4.      Buat perlakuan terhadap kubis, dengan perlakuan tanpa dicuci, dicuci, dan di beri Insektisida Dimehypo.
5.      Kemudian masukan masing-masing kubis kedalam botol selai, lalu botol ditutup.
6.      Amati jangkrik yang mati pada beberapa perlakuan tersebut.
7.      Catat jangkrik yang mati, kemudian lakukan perhitungan probit dengan Aplikasi SPSS.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tanggal
Perlakuan
Ulangan
Jumlah jangkrik yang mati
Jumlah jangkrik yang hidup





Jum’at, 16 April 2016

1
1
0
10
2
3
7

2
1
1
9
2
0
10

3
1
2
8
2
2
8

4
1
10
0
2
0
10

Tabel 1. Respon Jangkring terhadap tiap perlakuan

Keterangan :
Perlakuan 1 = Kubis langsung tanpa pestisida dan tanpa dicuci
Perlakuan 2 = Kubis dicuci dengan air
Perlakuan 3 = Kubis + Insektisida
Perlakuan 4 = Tidak diberi kubis (diberi makanan berupa daun kering yang berasal dari tempat penjual



Tabel 1.2; LD 50 Perlakuan Kontrol


Tabel 1.3 LD 50 perlakuan dicuci


Tabel 1.3 Perlakuan Insektisida



Tabel 1.4 Perlakuan tanpa Kubis
 



4.1 Pembahasan
            Residu pestisida adalah pestisida yang masih tersisa pada bahan pangan setelah diaplikasikan ke tanaman pertanian. Tingkat residu pada bahan pangan umumnya diawasi dan ditetapkan batas amannya oleh lembaga yang berwenang di berbagai negara. Paparan populasi secara umum dari residu ini lebih sering terjadi melalui konsumsi bahan pangan yang ditanam dengan perlakuan pestisida, ditanam atau diproses di tempat yang dekat dengan area berpestisida. Banyak dari residu pestisida ini merupakan pestisida sintetik berbahan dasar klor yang menunjukan sifat bioakumulasi yang dapat terkumpul dan menumpuk di dalam tubuh dan lingkungan hingga pada jumlah yang membahayakan. Senyawa kimiawi yang persisten dapat terakumulasi di dalam rantai makanan tanpa terurai, dan telah terdeteksi di berbagai produk hewan mulai dari daging sapi, daging ayam, telur ayam, dan daging ikan.
Insektisida yang diaplikasikan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman kubis bersifat persisten atau sukar terurai, hal ini menyebabkan bahan aktif yang ada didalam insektisida tersebut meninggalkan residu bahan aktif pada tanaman kubis yang menempel pada permukaan tanaman kubis itu sendiri. Seperti yang dijelaskan oleh Arnoldi (2012) bahwa, residu insektisida masih dapat tertinggal pada sayuran yang diperlakukan dengan insektisida. Residu insektisida diketahui dapat menyebabkan gangguan kesehatan (keracunan) baik akut maupun kronik. Upaya penurunan kadar residu perlu dilakukan agar pangan aman dikonsumsi. Hal ini tentunya akan membahayakan konsumen yang mengkonsumsi kubis terlebih lagi yang tidak lagi dicuci.Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian kubis yang tidak diberikan perlakuan apapun, kandungan bahan aktifnya masih tinggi. LD 50 dari kubis yang dicuci lebih tinggi daripada kubis yang tidak lagi dicuci, hal ini menunjukkan bahwa kandungan bahan aktif kubis yang dicuci mengurangi residu insektisida yang ada dikubis yang mana ditunjukkan oleh LD yang didapat dari hasil perhitungan probit menggunakan software SPSS.
Tingginya tingkat penggunaan Insektisida oleh petani Indonesia membuat kubis-kubis yang beredar dipasaran membuat kubis-kubis tersebut perlu perhatian dan perlakuan lebih untuk membersihkan residu insektisida yang tertinggal dan mengendap dikubis yang ada dipasaran. Hal ini disampaikan oleh Agung (2008) bahwa, adapun untuk mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman kubis seperti; Ulat Tritip (Plutellaxylostella), Ulat Titik Tumbuh (Crocidolomia binotalis Zell), Ulat Grayak (Prodenia litura F), Kutu Daun (Myzus persicae Sulz), dan penyakit yang disebabkan oleh cendawan dan bakteri seperti penyakit rebah batang yang disebabkan oleh cendawan Pythium debaryanum, dan penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonascampestris, petani mengunakan pestisida seperti, Curacron 500 EC, Decis 2,5 EC, Dursban 200 EC, Sevin 85 WP Dharmasan 600 EC Diazinon 60 EC dan Dharmabas 500 EC. Pengendalian yang dilakukan oleh petani terhadap hama dan penyakit diatas sangat tergantung dari kondisi tanaman di lapangan, tapi secara umum rata-rata petani melakukan penyemprotan sejak tanam sampai panen antara 4 - 6 kali (85%) sesuai dosis dan konsentrasi anjuran dalam kemasan insektisida. Sedangkan penanganan pascapanen dilakukan hanya dengan menghilangkan helaian daun paling luar yang terkena serangan hama penyakit atau yang sudah tua/robek dan kotor karena tanah pada saat panen dan tidak dilakukan pencucian (100%). Krop Kubis atau Kol dari lahan pertanian langsung dibawa ke pasar tujuan, hasil survei di tingkat pedagang juga menunjukkan tidak dilakukan pencucian terhadap krop kubis yang dijual (100%).
Yang lebih mengejutkan bahwa LD 50 dari kubis yang tidak diperlakukan apa-apa lebih tinggi ketimbang kubis yang diberi perlakuan tambahan insektisida, hal tersebut menunjukkan bahwa insektisida yang diaplikasikan oleh petani melebihi dosis yang seharusnya untuk pengaplikasian insektisida. Hal ini sangat memprihatikan karena hal ini akan merusak lingkungan sekitar perkebunan akibat dari penggunaan insektisida yang tidak bijak dan akan memberikan dampak buruk bagi konsumen yang kurang teliti didalam mengkonsumsi kubis yang memiliki banyak residu insektisida yang ada didalamnya.

           



BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
              Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah:
1.      Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan setiap orang berhak mendapatkan pangan yang mengandung zat gizi dan aman dari segala kontaminan yang merugikan.
2.      Konsumsi sayuran masih rendah yang disebabkan banyak hal antara lain tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang masih rendah dan produktvitas sayuran yang rendah.
3.      Kol atau kubis merupakan tanaman sayur famili Brassicaceae berupa tumbuhan berbatang lunak yang dikenal sejak jaman purbakala (2500-2000 SM) dan merupakan tanaman yang dipuja dan dimuliakan masyarakat Yunani Kuno.
4.      Penggunaan pestisida khususnya pada tanaman akan meninggalkan residu pada produk pertanian. Bahkan pestisida tertentu masih dapat ditemukan sampai saat produk pertanian tersebut diproses untuk pemanfaatan selanjutnya maupun dikonsumsi.
5.      Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau tanah.

6.1. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dari praktikum ini adalah agar kita lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi sayuran yang ada dipasaran, terutama kubis karena masih terdapat residu pestisida yang digunakan untuk mengendali-kan ham dan penyakit tanaman tersebut, dan sebaiknya sayuran tersebut dicuci terlebih dahulu sebelum dimasak dan dikonsumsi.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F., 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: UI Press.
Adiyoga, W. 2008. Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Sayuran di Indonesia. Jurnal Hortikultura 9(2): 258-265.
Alen, Y., Zulhidayati. 2015. Pemeriksaan Residu Pestisida Profenofos pada Selada (Lactuca sativa L.) dengan Metode Kromatografi Gas. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 1(2), 140-149.

Azis, Thamrin. 2011. Analisis Residu Pestisida Diazinon Dalam Tanaman Kubis (Brassica Olarecea) Menggunakan Biosensor Elektrokimia Secara Voltametri Siklik. J. Prog. Kim. Si. 2011, 1 (1) 32-40 32
Borror. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga, edisi VI. Yogyakarta : Gajah Mada Press
BPS, 2010. Badan Pusat Statistik. (online). https://www.bps.go.id/ (Di akses pada 29 april 2016)
Cahyono, B. (2001). Kubis Bunga dan Broccoli. Kanisius, Yogyakarta. Halaman. 12-14.
Elvira, dkk., 2013. Identifikasi Residu Pestisida Malathion Dalam Sayuran Sawi (Brassica juncea L.) di Pasar Pannampu dan Lotte Mart Kota Makassar. Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Unhas Makassar.

Frank, C. Lu., 1995, Toksikologi Dasar Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi II, Penerjemah Edi Nugroho, 358, UI-Press, Jakarta.

Hartini, E., Supriyono,  2013.  Laporan Akhir  Dosen Pemula. Universitas Dian Nuswantoro. Semarang.

Irie, M., 2007, Pestiside residues in food, report of the JMPR 2007, FAO plant production and protection paper, 191, pp 210 pages 1357.
Klinhom P, Markvichitr K, Vijchulata P, Tumwasorn S, Bunchasak C, Choothesa A. 2008. Effect Of Restricted Feeding On Metabolic Adaptations Of Kamphaengsaen And Crossbred Brahman Heifers. Animal Science Journal 77: 399-406.

Maruli,Arnold. Dkk.,  2012. Analisa Kadar Residu Insektisida Golongan Organofosfat Pada Kubis (Brassica oleracea) Setelah Pencucian Dan Pemasakan Di Desa Dolat Rakyat Kabupaten Karo Tahun 2012. Departemen Kesehatan Lingkungan Universitas Sumatera Utara, Medan.
Munarso, Joni, dkk. 2009. Studi Kandungan Residu Pestisida pada Kubis, Tomat dan wortel Di Malang dan Cianjur. Buletin Tekhnologi Pascapanen Pertanian, Vol 5 (31) (online). http://www.litbangpascapanenpertanian. co.id (Akses 28-04-2016).
Munarso, S.Joni. Miskiyah, Dan Broto, Wisnu. 2009. Studi Kandungan Residu Pestisida Pada Kubis, Tomat, Dan Wortel Di Malang Dan Cianjur. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Permentan No.88 Tahun 2011. Tentang Pengawasan Keamanan Pangan Terhadap Pemasukan Dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan.
Pratiwi, Yuli. 2015. Analysis Of Pesticide Thiametoxam Pesticide Residu Cabbage In Vegetables (Brassica oleracea var. capitata L). Pharmaconjurnal Ilmiah Farmasi – Unsrat Vol. 4 No. 1 Februari 2015 Issn 2302 - 2493
Sitambul, R. 2014. Analisis Residu Pestisida Klorpirifos Pada Sawi Hijau (Brassica rapa var.parachinensis L.) Asal Desa Kanreapia Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa Secara Kromatografi Gas. Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Makassar.
Soemirat, Juli. 2009. Epidemiologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sudewa, A. K., Residu Pestisida Pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea L.), Ecotrophic ♦ 4 (2) : 125130.
Suprapti. W. (2010). Perilaku Konsumen Pemahaman Dasar Dan Aplikasinya Dalam Strategi Pemasaran. Bali : Udayana University Press.
Undang Undang  No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang Undang  No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
Yuliastuti, Sri. Teknik Analisis Pestisida Organoklorin Pada Tanaman Kubis Dengan Menggunakan Kromatografi Gas. Buletin Teknik Pertanian Vol. 16, No. 2, 2011: 74-76.
Yusnani, Anwar, D., 2013. Identifikasi Residu Pestisida Golongan Organofosfat Pada Sayuran Kentang Di Swalayan Lottemart Dan Pasar Terong Kota Makassar Tahun 2013.  Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian Penyakit, Makassar.
Yusniati, 2008. Pengendalian Hama Terpadu Pada Padi Sawah. Diakses pada 28 April 2016, www.sdsindonesia.com.
Zulkarnain, 2010. Dasar-Dasar Hortikultura. PT Bumi Aksara, Jakarta.

2 comments:

Blogroll

Translate

Pageviews last month

About